Berbagai pemberontakan di dalam negeri berlangsung setelah kemerdekaan Indonesia. Beberapa diantaranya : pemberontakan PKI di Madiun, pemberontakan DI/ TII, pemberontakan APRA, pemberontakan Andi Azis, RMS, PRRI, dan terakhir adalah pemberontakan G 30 S/PKI. Sebagian besar terjadi ketika sistem pemerintahan Indonesia berbentuk Republik, dan memang tujuan pemberontakan-pemberontakan tsb adalah untuk memisahkan diri dari Republik Indonesia atau membentuk Indonesia baru berdasarkan ideologi mereka.
Pembaca sekalian, setelah sebelumnya kami berbagi materi tentang sejarah pembebasan Irian Barat, kali ini akan kami kupas tentang sejarah dalam usaha mempertahankan negara kesatuan Republik Indonesia pada masa awal kemerdekaan. Ada berbagai peristiwa atau bisa juga disebut berbagai tragedi nasional yang terjadi hingga sekitar tahun 1960-an. Mohon disimak dengan seksama materi dibawah, apabila ada pertanyaan nanti silahkan di komentari.
Pemberontakan PKI (Partai Komunis Indonesia) di Madiun
Pemberontakan PKI di Madiun terjadi pada tahun 1948, tepatnya pada tanggal 28 Juni 1948. Salah satu tokoh utama pemberontakan PKI Madiun adalah Amir Syarifudin yang merupakan mantan perdana menteri RI. Pada materi yang sebelumnya, kami sudah menyebutkan bahwa Amir Syarifudin ini adalah tokoh yang mewakili Indonesia pada perundingan Renville, dimana hasil dari perundingan Renville banyak merugikan Indonesia.
Setelah kabinet Amir Syarifudin jatuh, ternyata kelompok Amir Syarifudin mendirikan Front Demokrasi Rakyat (FDR) sebagai partai oposisi terhadap Kabinet Hatta. Amir Sjarifudin dan pendukungnya menentang Persetujuan Renville, seolah-olah bukan mereka sendiri yang membuatnya. Mereka bergabung dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan beberapa partai kiri lainnya untuk melawan pemerintah. Tujuan Amir Syarifuddin adalah ingin merebut kembali kedudukannya.
Pada tanggal 18 September 1948, PKI di bawah pimpinan Muso dan Amir Syarifudin merebut kota Madiun dan memproklamirkan berdirinya “Soviet Republik Indonesia”. Tujuan pemberontakan PKI Madiun adalah untuk meruntuhkan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan mengganti nya dengan negara komunis.
Presiden Sukarno memerintahkan Panglima Besar Jenderal Sudirman untuk segera menumpas pemberontakan. Kemudian Jenderal Sudirman memerintahkan kepada Kolonel Sungkono di Jawa Timur dan Kolonel Gatot Subroto di Jawa Tengah untuk menumpas PKI di Madiun. Akhirnya, tanggal 30 September 1948 kota Madiun berhasil direbut kembali. Muso tertembak dalam suatu pengejaran dan Amir Syarifudin dapat ditangkap yang akhirnya dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan militer.
Pemberontakan DI/ TII
Pemberontakan DI/ TII ini sebenarnya tidak terjadi pada satu daerah saja tapi pada banyak tempat, yaitu DI/ TII di Jawa Barat, di Aceh, di kalimantan Selatan, di Sulawesi Selatan, dan di Jawa Tengah. DI tulisan kali ini, kami akan membahas DI/ TII di Jawa Barat saja karena merupakan pelopor gerakan DI/ TII di Indonesia.
DI/ TII di Jawa Barat
Pada tanggal 7 Agustus 1949, Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo memproklamasikan
berdirinya Negara Islam Indonesia (NII) atau Darul Islam (DI) di Tasikmalaya dengan kekuatan pendukung yang disebut Tentara Islam Indonesia (TII). DI/TII menyatakan diri lepas dari pemerintah Republik Indonesia.
Berdirinya DI/ TII tidak lepas dari akibat Perundingan Renville yang banyak merugikan Indonesia. Berdasarkan perundingan Renville, kekuatan militer Republik Indonesia harus meninggalkan
wilayah Jawa Barat yang dikuasai Belanda. TNI harus mengungsi ke daerah Jawa Tengah yang dikuasai Republik Indonesia. Hal inilah yang tidak bisa diterima oleh S.M Kartosuwiryo dan para pendukungnya.
Secara militer, untuk mengatasi pemberontakan DI/ TII di Jawa Barat, pada tahun 1960 ditugaskanlah Kodam VI Siliwangi. Kodam VI Siliwangi menjalankan operasi “Pagar Betis” dan “Bratayudha”. Tanggal 4 Juni 1962, Kartosuwiryo dan pengikutnya ditangkap di Gunung Geber, Majalaya. Oleh Mahkamah Angkatan Darat, Kartosuwiryo dijatuhi hukuman mati.
Pemberontakan APRA
APRA (Angkatan Perang Ratu Adil) dipimpin oleh Kapten Westerling dan didalangi Sultan Hamid II. Tujuan pemberontakan APRA adalah mempertahankan bentuk negara federal. Pada tanggal 23 Januari 1950 gerombolan APRA menyerang kota Bandung, tepatnya menyerang anggota Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS/TNI). Westerling juga merencanakan menangkap dan membunuh menteri-menteri RIS, tetapi usahanya mengalami kegagalan. Sultan Hamid II dapat ditangkap dan Westerling melarikan diri ke luar negeri.
Pemberontakan Andi Azis
pemberontakan terjadi di Makassar dipimpin oleh Andi Azis, seorang Komandan Kompi APRIS bekas KNIL. Tanggal 5 April 1950, Andi Azis melancarkan gerakan pengacauan dengan menduduki objek-objek vital, seperti: lapangan terbang dan kantor telekomunikasi, menyerang pos-pos militer dan menahan Letkol Achmad Yunus Mokoginta beserta seluruh stafnya.
Tujuan pemberontakan Andi Azis yaitu :
- Menuntut agar pasukan APRIS bekas KNIL saja yang bertanggung jawab atas keamanan di daerah NIT.
- Mempertahankan berdirinya Negara Indonesia Timur (NIT), padahal sebagian besar rakyat Indonesia bagian Timur tidak menghendaki NIT.
- Menentang dan menghalangi masuknya pasukan APRIS dari TNI yang dikirim dari Jawa.
Pada tanggal 26 April 1950, pemerintah RI mengirimkan pasukan di bawah pimpinan Kolonel A.E. Kawilarang untuk menumpas habis pemberontakan Andi Azis.
Alex Kawilarang |
Pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS)
Dengan gagalnya pemberontakan Andi Azis yang sebenarnya didalangi oleh dr. Soumukil, maka menyebabkan dr. Soumukil pada tanggal 25 April 1950 mempoklamirkan berdirinya Republik Maluku Selatan (RMS). Dr. Christian Robert Steven Soumokil, merupakan bekas Jaksa Agung NIT pada masa RIS. Latar belakang pemberontakan RMS adalah ketidaksenangannya untuk kembali ke negara kesatuan setelah Konferensi Meja Bundar (KMB).
Tujuan RMS Adalah memproklamasikan Republik Maluku Selatan yang terpisah dari NIT dan RIS. Pemberontakan RMS dapat ditumpas oleh operasi militer pimpinan Kolonel Alex Kawilarang. Pada tanggal 2 Desember 1963, Dr. Soumokil berhasil ditangkap dan diadili.
Pemberontakan PRRI
PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia) didirikan pada tanggal 15 Februari 1958 oleh Letkol Achmad Husein di Sumatera Barat dan segera membentuk kabinet. Sebagai Perdana Menteri PRRI yaitu Syafrudin Prawiranegara. Anggota kabinetnya antara lain Moh. Natsir, Burhanuddin Harahap, Sumitro Djojohadikusumo, dan Simbolon. PRRI dilatarbelakangi oleh ketidakharmonisan hubungan pemerintah pusat dan daerah terutama karena pemerintah pusat dianggap tidak adil dalam alokasi dana pembangunan. Selain itu juga tidak setuju dengan beberapa cara pemerintahan presiden Soekarno pada masa demokrasi terpimpin, yang melenceng dari UUD 1945.
Syafrudin Prawiranegara |
Tanggal 10 Februari 1958 Ahmad Husein menuntut agar Kabinet Djuanda mengundurkan diri dalam waktu 5 x 24 jam, dan menyerahkan mandatnya kepada presiden. Setelah melaksanakan beberapa operasi militer untuk menumpas pemberontakan PRRI, akhirnya Letkol Achmad Husein beserta pengikutnya menyerah pada tanggal 29 Mei 1961.
Pemberontakan Permesta
Pemberontakan permesta (Piagam Perjuangan Rakyat Semesta) ini meletus di Indonesia bagian timur yaitu Sulawesi Utara dan Sulawesi Tengah. Pada tanggal 1 Maret 1957 Vence Sumual memproklamasikan berdirinya Permesta, sedangkan pada tanggal 17 Februari 1958 Letkol D.J.Somba, Komandan Daerah Militer Sulawesi Utara dan Tengah menyatakan diri putus dengan pemerintah pusat dan mendukung PRRI. Pemberontakan Permesta dapat dilumpuhkan sekitar bulan Agustus 1958 setelah diadakan beberapa operasi penumpasan secara militer, walaupun sisa-sisanya
masih ada sampai tahun 1961.
Peristiwa Sejarah Pemberontakan G 30 S PKI
PKI bertujuan menggeser dasar negara Pancasila dan menggantikan dengan dasar komunisme. Pada masa demokrasi terpimpin, kekuatan PKI memang sangat besar. Ini tercermin dengan komposisi DPRGR yang dipilih presiden, yaitu nasionalis (94), Islam (67), dan komunis (81). Serta politik nasakom (Nasionalis, sosialis, dan Komunis) yang dikemukakan presiden Soekarno.
Ketika masa demokrasi terpimpin, satu-satunya kekuatan yang dianggap PKI sebagai penghalang utama dalam mencapai tujuannya adalah TNI. Akibatnya, sasaran utama mereka adalah melemahkan TNI, salah satunya dengan cara membunuh para pemimpin TNI ketika itu.
Gerakan PKI secara militer dipimpin oleh Letnan Kolonel Untung Sutopo, komandan Batalyon I Resimen Cakrabirawa, yaitu pasukan yang sehari-hari bertugas mengawal presiden, dan mulai bergerak dini hari tanggal 1 Oktober 1965. Enam orang perwira tinggi dan seorang perwira pertama Angkatan Darat dibunuh dan atau diculik dari tempat kediaman masing -masing. Mereka dibawa ke Lubang Buaya, sebuah desa yang terletak di sebelah selatan lapangan terbang Halim Perdanakusumah, Jakarta. Bersama-sama dengan para korban lainnya yang telah dibunuh di tempat kediaman mereka, jenazah dimasukkan ke dalam sebuah lubang sumur tua di desa tersebut.
Keenam perwira tinggi tersebut adalah sebagai berikut.
a. Letnan Jenderal Ahmad Yani.
b. Mayor Jenderal R. Soeprapto.
c. Mayor Jenderal Haryono Mas Tirtodarmo.
d. Mayor Jenderal Suwondo Parman.
e. Brigadir Jenderal DI Panjaitan.
f. Brigadir Jenderal Sutoyo Siswomiharjo.
Jenderal Abdul Haris Nasution, yang pada waktu itu menjabat Menteri Kompartemen Hankam/Kepala Staf Angkatan Bersenjata, yang merupakan sasaran utama G 30 S PKI, berhasil meloloskan diri dari usaha penculikan, tetapi putri beliau, Ade Irma Suryani Nasution, tewas akibat tembakan para penculik.
Pada tanggal 2 Oktober 1965 Presiden Soekarno memanggil semua panglima angkatan ke Istana Bogor untuk membicarakan penyelesaian G 30 S/PKI, dan didapat beberapa butir keputusan berikut :
a. Penyelesaian aspek politik akan diselesaikan sendiri oleh presiden.
b. Penyelesaian aspek militer dan administratif diserahkan kepada Mayjen Pranoto
c. Penyelesaian militer teknis, keamanan, dan ketertiban diserahkan kepada Mayjen Soeharto
Demikianlah materi mengenai usaha mempertahankan republik Indonesia. Semoga dapat bermanfaat dan terimakasih.